Sabtu, 08 Januari 2011

adi_surya


Tugas individu
MANAJEMEN PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU (PHT)
“Konsep Dan Implementasi Manajemen Hama Dan Penyakit Terpadu
Di Dunia Dan Di Indonesia Indonesia”




      Oleh  :

         NAMA        : *SURYADI
         NIM            : 0810483046
         KELAS       : E





PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU (PHT)
1.      Pengertian
            Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian hama yang dihasilkan melalui pertemuan panel ahli FAO di Roma tahun 1965. Di Indonesia, konsep PHT mulai dimasukkan dalam GBHN III, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 3 tahun 1986 dan undang-undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, dan dijabarkan dalam paket Supra Insus, PHT menjadi jurus yang dianjurkan. (Arifin dan Iqbal, 1993; Baco, 1993; Soegiarto, et, al., 1993). Adapun tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktifitas pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak merugikan tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian.
            Dari segi substansial, PHT adalah suatu sistem pengendalian hama dalam konteks hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai teknik yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama tetap berada di bawah ambang kerusakan ekonomi. Dalam konsep PHT, pengendalian hama berorientasi kepada stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi serta sosial. Dengan demikian, pengendalian hama dan penyakit harus memperhatikan keadaan populasi hama atau patogen dalam keadaan dinamik fluktuasi disekitar kedudukan kesimbangan umum dan semua biaya pengendalian harus mendatangkan keuntungan ekonomi yang maksimal (Arifin dan Agus, 1993).
            Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendalian (Soejitno dan Edi, 1993). Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit perlu dilaksanakan.

SEJARAH PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU (PHT)

            Setelah perang dunia kedua, yakni pada tahun lima puluhan, terjadi penggunaan pestisida dan pupuk kimia yaitu pemakaian bubur bordeux dan DDT yang berlebihan. Memang pada kenyataan terjadi peningkatan hasil (Horsfall, 1977; Zadoks dan Richard, 1979). Sehingga pemakaian bahan ini menjadi hal yang penting dalam dunia pertanian.Tetapi setelah diketahui efek negatifnya, maka penggunaan DDT dilarang.Pada tahun enam puluhan terjadi revolusi hijau (”Green revolution”) yang lebih intensif dalam penggunaan varietas berpotensi hasil tinggi, anakan yang banyak, pengaturan tata air, perlindungan tanaman dan pemupukan (Horsfall, 1977). Pada awalnya, usaha ini dapat memberikan hasil pertanian yang memuaskan, namun beberapa tahun berikutnya terlihat gejala-gejala negatif mempengaruhi pertanian itu sendiri, lingkungan dan kesehatan. Efek negatif tersebut berupa timbulnya hama dan patogen yang tahan terhadap pestisida, munculnya hama baru, terjadinya peningkatan populasi hama dan patogen sekunder, berkurangnya populasi serangga yang bermanfaat, keracunan terhadap ternak dan manusia, residu bahan kimia dalam tanah dan tanaman, dan kerusakan tanaman (Zadoks dan Richard, 1979).
            Memperhatikan berbagai efek negatif yang terjadi dari penggunaan bahan kimia
tersebut, maka mulai diadakan penelitian-penelitian yang mengarah kepada penggunaan jasad hidup untuk penanggulangan kerusakan di dunia pertanian, yang dikenal dengan pengendalian biologi (”Biologic control”). Dalam metode ini dimanfaatkan serangga dan mikro organisme yang bersifat predator, parasitoid, dan peracun (Zadoks dan Richard, 1979).
            Usaha untuk meningkatkan hasil pertanian terus berlanjut dengan memperhatikan aspek keamanan lingkungan, kesehatan manusia dan ekonomi, maka muncul istilah ”integrated pest control”, integrated pest control dan selanjutnya menjadi integrated pest management (IPM), yang dikenal dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

KONSEP DAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU DI DUNIA DAN DI INDONESIA INDONESIA
1.      Konsep PHT dan Implementasinya di dunia
            Konsep PHT merupakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian hama dan penyakit. Penggunaan pestisida memang telah memberikan kontribusi cukup besar bagi peningkatan produksi tanaman, tetapi juga berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti munculnya resistensi dan resurjensi beberapa jenis hama, residu pada produk, dan matinya organism bukan sasaran, termasuk musuh alami yang sebenarnya berpotensi untuk mengendalikan hama dan penyakit.
            Konsep PHT dihasilkan melalui pertemuan panel para ahli Badan Pangan Dunia di Roma pada tahun 1965. Intisari dari konsep PHT adalah: PHT merupakan sistem pengendalian hama dalam hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, serta menggunakan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama selalu di bawah ambang ekonomi. Di Indonesia, konsep PHT telah diakomodasikan ke dalam sistem produksi pertanian dan implementasinya di masa lalu dapat dikelompokkan ke dalam dua pola, yaitu pola sentralistik dan pola partisipatif.
            Teknik penerapan PHT yang dianjurkan oleh Pusat Penelitian Padi Internasional (IRRI) cukup sederhana, yaitu tidak melakukan aplikasi insektisida pada tanaman padi hingga berumur 45 hari setelah tanam. Teknik ini berhasil diterapkan di Vietnam, tetapi tidak dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia karena adanya masalah hama penggerek batang dan penyakit tungro. Khusus untuk penyakit tungro, periode tanaman peka berada pada stadia muda, yaitu saat tidak diperbolehkan untuk aplikasi pestisida. Di daerah yang hanya dihadapkan pada masalah wereng coklat, teknik tersebut dapat diterapkan. Dalam implementasinya di lapang, teknik tersebut tidak memperhatikan hasil pengamatan, yang menjadi salah satu komponen penting dalam penerapan PHT. Hal ini bertentangan dengan tujuan SLPHT yang memberikan kesempatan kepada petani untuk mengambil keputusan sesuai dengan hasil pengamatan mereka di lapang.
2.   Konsep PHT dan Implementasinya di indonesia
            Di Indonesia, implementasi PHT dalam skala luas untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1979/80 guna mengendalikan hama wereng coklat. Cara pengendalian yang diterapkan meliputi penggunaan varietas tahan, tanam serempak, penerapan pola tanam padi-padibera atau padi-padi-palawija/sayuran, dan penggunaan insektisida berdasarkan hasil pengamatan di lapang. Cara serupa juga digunakan dalam pengendalian penyakit tungro dan hama tikus.
            Dalam kaitan pengendalian hama dan penyakit tanaman, pemerintah membentuk satuan pengamat hama lapangan dan apabila terjadi ledakan serangan maka digerakkan brigade proteksi tanaman, terutama untuk pengendalian menggunakan insektisida. Saat itu peranan pemerintah sangat dominan dan penerapan PHT bersifat sentralistik. Pemerintah pun mem-bentuk institusi seperti Balai Proteksi Tanaman di hampir setiap propinsi, Sentra Peramalan Hama dan Penyakit, serta Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman untuk mendukung penerapan PHT. Peran petani di masa itu sangat kecil dan sebagian besar dari mereka belum memahami arti PHT. Ketika terjadi ledakan populasi wereng coklat pada tahun 1986 di Jawa Tengah, yang merusak 75.000 ha pertanaman padi, timbul kesadaran akan pentingnya mengubah pola penerapan PHT. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penggunaan insektisida secara tidak terkendali berdampak luas terhadap kerusakan lingkungan, terutama musuh alami. Melalui Dekrit Presiden No. 3 tahun 1986, pemerintah melarang penggunaan jenis insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi hama tanaman padi.
Partisipatif
            Poin penting lainnya dari dekrit tersebut adalah perlunya upaya untuk meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan PHT dengan cara meningkatkan pengetahuan petani. Sehubungan dengan itu dilakukan pelatihan bagi petani melalui Sekolah Lapang PHT (SLPHT). Bekerja sama dengan Bank Dunia, pemerintah telah melatih lebih dari satu juta petani, termasuk 27.000 petani yang memiliki kemampuan sebagai pelatih PHT. Tujuan dari kegiatan ini antara lain adalah untuk menjadikan petani sebagai ahli PHT. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu mengidentifikasi masalah di lapang dan mengambil keputusan yang terbaik bagi pengendalian hama di areal pertanamannya. Pola pengendalian
ini dikenal dengan pola partisipatif.
Keuntungan penerapan PHT setelah petani dilatih melalui SLPHT antara lain adalah:
        Berkurangnya biaya pengendalian hama/penyakit tanaman.
        Berkurangnya frekuensi aplikasi pestisida dari rata-rata 3 kali menjadi 1 kali/periode tanam.
        Berubahnya wawasan petani dalam hal penggunaan pestisida, yaitu dari aplikasi untuk pencegahan ke aplikasi berdasarkan hasil pengamatan.
            Di tingkat makro, meskipun subsidi pestisida untuk petani sudah dihapus, produksi padi nasional tidak berkurang bahkan terus meningkat, meskipun dengan laju yang melandai dalam dekade terakhir. Hal ini meyakinkan sebagian orang bahwa tanpa pestisida, produksi padi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Keyakinan tersebut menimbulkan persepsi bahwa PHT dapat dilakukan tanpa pestisida, satu hal yang menyimpang dari konsep PHT.
DAFTAR PUSTAKA

 AAK. 1992. Petunjuk praktis bertanam sayuran. Kanisius.

Arifin M., dan Agus Iqbal. 1993. Arah, strategi, dan program penelitian biodiversitas dan
interaksi komponen ekosistem pertanian tanaman pangan sebagai unsur dasar pengelolaan hama secara alamiah. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.

 Baco, J. 1993. Langkah, strategi dan program penelitian bioekologi serangga tanaman pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. 2002. Diskripsi Varietas Unggul Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

 Hendarsih, S., N. Usyati, dan D. Kertoseputro. 1999. Perkembangan hama padi pada tiga pola tanam. Dalam Darajat, dkk. (penyunting). Prosiding Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna Menunjang Gema Palagung. Balitpa Sukamandi; 133-144 hlm.

Horsfall, J. G. And Ellis, B. C. 1977. Plant disease an advanced treatise. How disease is managed. Vol I. Academic Press New York, San Francisco, London.

Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003. Petunjuk Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian; 38 hlm.

Semangun H. 1990. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press

Soejitno, J. ean Edi S. 1993. Arah dan strategi penelitian ambang ekonomi hama tanaman pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.

Soegiarto, B., Djafar B., dan Edi S. 1993. Strategi dan program penelitian hama-hama tanaman pangan PJPT II. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.

*mahasiswa : AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011